Anak-anak


Anak-anak - Kenapa anak-anak itu harus mati ditembaki, 20 orang sekaligus, sebagian besar baru berumur enam tahun? Apa yang dicari sang pembunuh, kecuali kematian, juga buat dirinya sendiri?

Hari itu, di pertengahan Desember 2012 yang dingin tapi cerah, Adam Lanza datang ke Sekolah Dasar Sandy Hook di Newtown, Connecticut, Amerika Serikat. Berpakaian serba hitam, ia menyandang tiga jenis senjata ketika memasuki ruangan: sepucuk senapan Bushmaster AR-15 dan dua pistol.

Beberapa menit kemudian polisi mendengar tembakan. Mereka temukan orang bersenjata itu telah tewas membunuh diri. Tak jauh dari jasadnya tampak sejumlah tubuh anak dan guru mereka, tergeletak, berdekapan. Mereka mati kena tembak berkali-kali.

Segera pembantaian itu pun jadi berita dunia—juga jadi pertanyaan dunia. Adam tak diketahui sebagai pemuda jahat. Tapi ia tega menembak mati ibunya sendiri sebelum berangkat ke Sekolah Dasar Sandy Hook. Peter Lanza, ayahnya yang tak lagi tinggal bersamanya, mengutarakan kegelisahan beribu-ribu orang hari itu: "Kami… bersedih, tapi bergulat untuk mengerti apa yang telah terjadi."

Tapi bisakah kita mengerti?

Kita mungkin hanya bisa "bergulat". Kita tak tahu apa isi kepala Adam beberapa menit sebelum membantai. Kita tak mudah menentukan apakah senjata-senjata yang tersimpan di rumahnya itu yang menggodanya untuk membunuh tanpa motif yang jelas.

Kita juga tak tahu pasti, apakah kejadian di Newtown itu sebuah kecenderungan sosial negeri seperti Amerika ”negeri di mana orang bisa memiliki senjata pribadi, negeri yang sejak 1917 terlibat perang di mana-mana setiap kali. Yang jelas, Adam bukan pembantai yang pertama.

Pada 20 April 1999, dua pemuda yang mengenakan T-shirt bertulisan Wrath membunuh 12 murid dan seorang guru di sebuah sekolah di Littleton, Colorado. Mereka menggunakan senjata api, pisau, dan bom (meskipun gagal meledak). Tapi berbeda dengan Adam Lanza, Dylan Klebold dan Eric Harris menunjukkan motifnya: mereka merendahkan dan membenci (atau merasa dibenci) siapa saja di luar diri mereka. "Aku seorang dewa—aku dewa kesedihan," tulis si Eric di catatan hariannya.
Selamat nonton Film Judul Film atau TV and keep Rockin your Day Guys !!
Tapi orang cuma bisa menduga apa yang membuat mereka punya sikap macam itu hingga selama setahun menyusun satu rencana yang bisa membinasakan ratusan orang, andai terlaksana seluruhnya. Tak jelas pula adakah Klebold dan Harris jadi inspirasi bagi pembunuh lainnya seperti T.J. Lane, yang pada pagi akhir Februari 2012 datang ke cafeteria sebuah sekolah menengah di Chardon, Ohio, dan menembaki para murid dan membunuh tiga dari anak-anak yang sedang sarapan.

Bisakah semua itu diuntai sebagai satu pola? Tidakkah untaian itu hanya cara kita "bergulat" agar bisa memahaminya, menganalisisnya, dan mencari pemecahannya—yang ternyata tak mudah?

Memang ternyata tak mudah. Pembunuhan anak-anak di Newtown itu tak sepenuhnya bisa disebut sekadar perbuatan kriminal. Seorang kriminal lazimnya berbuat dengan motif mendapatkan sesuatu buat dikuasai. Tapi Adam Lanza tak mendapatkan apa-apa.

Lebih mencolok lagi, satu kasus di Inggris Utara.

Pada suatu hari di tahun 1990-an dua anak berumur 10 tahun membunuh seorang bayi yang baru bisa berjalan. Tentu saja tak tampak ada niat mereka memperoleh uang atau jadi terkenal ”ataupun gejala sakit jiwa. Maka yang terjadi adalah sesuatu yang lebih muram dan lebih kompleks ketimbang kejahatan biasa. Mungkin ini yang harus disebut "mala", yang oleh orang Inggris disebut evil: sesuatu yang membuat hidup jadi sakit, rusak, lampus” baik dalam bentuk perbuatan manusia maupun bencana alam. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

"Evil is unintelligible," kata Terry Eagleton. Bukunya, On Evil, mengambil kasus pembunuhan bayi di Inggris Utara itu sebagai pengantar—untuk menunjukkan bahwa mala adalah sesuatu yang tanpa sebab. Juga tanpa pamrih, seperti kebaikan.

Bahkan tanpa keyakinan akan penebusan. Eagleton, seorang atheis, menolak dalih bahwa mala datang dari rencana Tuhan yang justru mengasihi manusia. Dengan mala, menurut orang yang beriman, akan datang kesadaran, dan harmoni pun akan terjalin antara awal yang buruk dan akhir yang baik.

Tapi kenapa untuk "harmoni" itu anak-anak yang tak bersalah itu, yang baru dua atau enam tahun hidup, harus mati? Pertanyaan ini, yang hanya tersirat dalam pandangan Eagleton, tampaknya tak bisa dielakkan. Kita tahu ia dikemukakan 130 tahun sebelumnya secara lebih terbuka oleh Ivan Karamazov.

Dalam novel Karamazov Bersaudara Dostoyevski, Ivan adalah tokoh pengganggu iman. Ia antitesis bagi adiknya, Alyosha, yang alim dan suci. Dalam sebuah percakapan, Ivan bercerita tentang seorang jenderal yang membunuh anak pelayannya; si anak bersalah mencederai seekor anjing milik sang majikan. Anak itu pun diperintahkan lari, dan anjing-anjing ganas mengejarnya dan mencabik-cabik tubuhnya. Sampai mati.

Dan Ivan bertanya: jika kekejian itu bisa dijelaskan sebagai bagian dari rencana Tuhan yang baik tapi tersembunyi, kenapa harus anak-anak yang dikorbankan? Demi terbangunnya harmoni kehidupan nanti, kenapa Tuhan menjadikan korban seperti itu? Tak ada jawabnya, kata Ivan. Hidup bisa membingungkan. "Dunia tegak di atas absurditas."

Tapi manusia tak mudah menerima itu. Bahkan Ivan sendiri masih butuh penjelasan. "Yang absurd itu sangat niscaya di bumi," katanya. "Niscaya" berarti tak dapat dihindarkan, berarti pasti. Ivan tampaknya tak sanggup menerima bahwa tak ada yang pasti, juga absurditas. Ia lupa justru absurditas tak punya arah dan mala tak punya pola.

Mungkin itu sebabnya kita bingung, tapi tak jera percaya bahwa manusia sesekali bisa baik dan bahagia juga di dunia di mana anak-anak umur 6 tahun mati ditembaki. 

Goenawan Mohamad - Tempo Minggu, 23 Desember 2012